Kamis, 28 Februari 2013

Daan Mogot, Pahlawan Berusia 17 Tahun

Penduduk Jakarta pasti sudah pernah mendengar nama
sebuah jalan bernama Daan Mogot. Jalan yang
terbentang dari perempatan Grogol hingga Tangerang.
Tapi apakah banyak yang sadar bahwa nama jalan Daan
Mogot itu berasal dari sebuah nama seorang pemuda?
Pemuda belia itu bernama Elias Daniel Mogot. Daan
Mogot adalah nama populer Elias Daniel Mogot. Pemuda
ini cukup mengagumkan. Bayangkan ketika anak-anak
saat ini yang berumur 14 tahun masih doyan main
playstation ataupun ber-FB ria, ternyata saat umur 14
tahun Daan Mogot sudah ikut berperang.
Pemuda kelahiran Manado, 28 Desember 1928, ini
dibawa oleh orang tuanya ke Batavia (Jakarta) saat
berumur 11 tahun. Daan Mogot adalah anak dari
pasangan Nicolaas Mogot dan Emilia Inkiriwang.
Ayahnya ketika itu adalah Hukum Besar Ratahan. Ia anak
kelima dari tujuh bersaudara. Saudara sepupunya antara
lain Kolonel Alex E. Kawilarang (Panglima Siliwangi,
serta Panglima Besar Permesta) dan Irjen. Pol. A. Gordon
Mogot (mantan Kapolda Sulut). Di Batavia, ayahnya
diangkat menjadi anggota VOLKSRAAD (Dewan Rakyat
masa Hindia-Belanda). Kemudian ayahnya diangkat
sebagai Kepala Penjara Cipinang.
Di umur 14 tahun (tahun 1942) Daan Mogot masuk PETA
(Pembela Tanah Air) yaitu organisasi militer pribumi
bentukan Jepang di Jawa, walaupaun sebenarnya ia tak
memenuhi syarat karena usianya belum genap 18 tahun.
Oleh prestasinya yang luar biasa ia diangkat menjadi
pelatih PETA di Bali. Kemudian dipindahkan ke Batavia.
Saat kejatuhan Jepang dan selepas Proklamasi 1945,
Daan Mogot bergabung dengan pemuda lainnya
mempertahankan kemerdekaan dan menjadi salah
seorang tokoh pemimpin Barisan Keamanan Rakyat
(BKR) dan Tentara Keamanan Rakyat (TKR) dengan
pangkat Mayor. Uniknya saat itu Daan Mogot baru
berusia 16 tahun namun sudah berpangkat Mayor.
Malang tak dapat ditolak, saat ia berjuang membela
negeri ini, ayahnya tewas dibunuh oleh para perampok
yang menganggap “orang Manado” (orang Minahasa)
sebagai londoh-londoh (antek-antek) Belanda.
Kesedihannya itu ia sampaikan pada sepupunya Alex
Kawilarang.
“Banyak benar anarki terjadi di sini,” kata Alex
Kawilarang.
“Memang, itu yang mesti torang bereskan. Oleh karena
itu, senjata harus berada di torang pe tangan” kata Daan
Mogot. “Torang, orang Manado, jangan berbuat yang
bukan-bukan. Awas, hati-hati! Torang musti benar-benar
menunjukkan, di pihak mana kita berada.”
Daan Mogot berkeinginan mencurahkan pengetahuannya,
apa yang dulu didapatkannya saat masih dibawah PETA.
Ia ingin mendidik para pemuda yang mau menjadi
tentara. Dan keinginan besarnya itu akhirnya terwujud
dengan berdirinya Akademi Milter di Tangerang 18
November 1945 bersama Kemal Idris, Daan Yahya dan
Taswin. Dan Daan Mogot diangkat menjadi Direktur
Militer Akademi Tangerang (MAT) saat ia berusia 17
tahun dengan calon Taruna pertama yang dilatih
berjumlah ada 180 orang.
Hutan Lengkong - Serpong Tangerang
Pada tanggal 30 November 1945 dilakukan perundingan
antara Indonesia dengan delegasi Sekutu. Indonesia
diwakili oleh Wakil Menteri Luar Negeri Agoes Salim yang
didampingi oleh dua dua perwira TKR yaitu Mayor
Wibowo dan Mayor Oetarjo. Sedangkan pihak Sekutu
(Inggris), Brigadir ICA Lauder didampingi oleh Letkol
Vanderpost (Afrika Selatan) dan Mayor West.
Pertemuan yang merupakan Meeting of Minds,
menghasilkan ketetapan tentang pengambil-alihan
primary objectives tentara Sekutu oleh TKR yang meliputi
perlucutan senjata dan pemulangan 35 ribu tentara
Jepang yang masih di Indonesia, pembebasan dan
pemulangan Allied Prisoners of War and Internees (APWI)
yang kebanyakan terdiri dari lelaki tua, wanita, dan anak-
anak berkebangsaan Belanda dan Inggris sebanyak 36
ribu.
Berdasarkan kesepakatan 30 November 1945, tentara
Sekutu tidak lagi memiliki alasan untuk memasuki
wilayah kekuasaan Indonesia maupun menggunakan
tentara Jepang untuk memerangi Indonesia dengan dalih
mempertahankan status quo pra- Proklamasi. Perintah
itu disampaikan oleh pihak Sekutu kepada Panglima
Tentara Jepang Letjen Nagano.
Sekitar tanggal 5 Desember 1945 ditegaskan oleh Kolonel
Yashimoto dari pimpinan tentara Jepang kepada
pimpinan Kantor Penghubung TKR di Jakarta cq Mayor
Oetarjo bahwa para komandan tentara Jepang setempat
sesuai dengan keputusan pimpinan tentara Sekutu, telah
diperintahkan tunduk kepada para komandan TKR
setempat yang bertanggung jawab atas pemulangan
mereka.
Namun pada tanggal 24 Januari 1946, Daan Mogot
mendengar pasukan NICA Belanda sudah menduduki
Parung. Dan bisa dipastikan mereka akan melakukan
gerakan merebut senjata tentara Jepang di depot
Lengkong.
Ini sangat berbahaya karena akan mengancam
kedudukan Resimen IV Tangerang. Untuk mendahului
jangan sampai senjata Jepang jatuh ke tangan sekutu,
berangkatlah pasukan TKR dibawah pimpinan Mayor
Daan Mogot dengan berkekuatan 70 taruna Militer
Akademi Tangerang (MAT) dan delapan tentara Gurkha
pada tanggal 25 Januari 1946 lewat tengah hari sekitar
pukul 14.00. Ikut pula bersamanya beberapa orang
perwira seperti Mayor Wibowo, Letnan Soebianto
Djojohadikoesoemo dan Letnan Soetopo.
Dengan mengendarai tiga truk dan satu jip militer hasil
rampasan dari Inggris, para prajurit berangkat dan
sampai di markas Jepang Lengkong pukul 16.00 WIB. Di
depan pintu gerbang, truk diberhentikan dan pasukan
TKR turun. Mereka memasuki markas tentara Jepang
dengan Mayor Daan Mogot, Mayor Wibowo, dan taruna
Alex Sajoeti (fasih bahasa Jepang) berjalan di depan.
Pasukan taruna diserahkan kepada Letnan Soebianto dan
Letnan Soetopo untuk menunggu di luar.
Kapten Abe, dari pihak Jepang, menerima ketiganya di
dalam markas. Mendengar penjelasan maksud
kedatangan mereka, Kapten Abe meminta waktu untuk
menghubungi atasannya di Jakarta. Ia beralasan bahwa
ia belum mendapat perintah atasannya tentang
perlucutan senjata. Saat perundingan berjalan, ternyata
Lettu Soebianto dan Lettu Soetopo sudah mengerahkan
para taruna memasuki sejumlah barak dan melucuti
senjata yang ada di sana dengan kerelaan dari anak
buah Kapten Abe. 40 orang Jepang telah terkumpulkan di
lapangan.
Namun entah mengapa, tiba-tiba terdengar bunyi
tembakan yang tidak diketahui dari mana asalnya.
Disusul tembakan dari tiga pos penjagaan bersenjatakan
mitraliur yang diarahkan kepada pasukan taruna yang
terjebak. Tentara Jepang yang berbaris di lapangan ikut
pula memberikan perlawanan dengan merebut kembali
sebagian senjata mereka yang belum sempat dimuat ke
dalam truk milik TKR.
Terjadilah pertempuran yang tak seimbang, apalagi
pengalaman tempur dan persenjataan para Taruna tak
sebanding dsengan pihak Jepang. Taruna MAT menjadi
sasaran empuk, diterjang oleh senapan mesin, lemparan
granat serta perkelahian sangkur seorang lawan seorang.
Ketika mendengar pecahnya pertempuran, Mayor Daan
Mogot segera berlari keluar meninggalkan meja
perundingan dan berupaya menghentikan pertempuran
namun upaya itu tidak berhasil. Mayor Daan Mogot
bersama beberapa pasukannya menyingkir meninggalkan
asrama tentara Jepang, memasuki hutan karet yang
dikenal sebagai hutan Lengkong.
Namun Taruna MAT yang berhasil lolos menyelamatkan
diri di antara pohon-pohon karet mengalami kesulitan
menggunakan karaben Terni yang dimiliki. Sering peluru
yang dimasukkan ke kamar-kamarnya tidak pas karena
ukuran berbeda atau sering macet. Pertempuran ini tidak
berlangsung lama, karena pasukan itu bertempur di
dalam perbentengan Jepang dengan persenjataan dan
persediaan peluru yang amat terbatas.
Dalam pertempuran, Mayor Daan Mogot terkena peluru
pada paha kanan dan dada. Tapi ketika melihat anak
buahnya yang memegang senjata mesin mati tertembak,
ia kemudian mengambil senapan mesin tersebut dan
menembaki lawan sampai ia sendiri dihujani peluru
tentara Jepang dari berbagai penjuru.
Monumen Lengkong
Dari pertempuran di hutan Lengkong, 33 taruna dan 3
perwira gugur serta 10 taruna luka berat. Mayor Wibowo
bersama 20 taruna ditawan, hanya 3 taruna, yaitu
Soedarno, Menod, Oesman Sjarief berhasil meloloskan
diri dan tiba di Markas Komando Resimen TKR
Tangerang pada pagi hari.
Pasukan Jepang selanjutnya bertindak penuh kebuasan.
Mereka yang telah luka terkena peluru dan masih hidup
dihabisi dengan tusukan bayonet. Ada yang tertangkap
sesudah keluar dari tempat perlindungan, lalu diserahkan
kepada Kempetai Bogor. Beberapa orang yang masih
hidup (walau mereka dalam keadaan terluka) dipaksa
untuk menggali kubur bagi teman-temannya.
Tanggal 29 Januari 1946 di Tangerang diselenggarakan
pemakaman kembali 36 jenasah yang gugur dalam
peristiwa Lengkong disusul seorang taruna Soekardi yang
luka berat namun akhirnya meninggal di RS Tangerang.
Mereka dikuburkan di dekat penjara anak-anak
Tangerang. Hadir pula pada upacara tersebut Perdana
Menteri RI Sutan Sjahrir, Wakil Menlu RI Haji Agoes Salim
yang puteranya bernama Sjewket Salim ikut gugur dalam
peristiwa tersebut beserta para anggota keluarga taruna
yang gugur. Dan bagi R.Margono Djojohadikusumo,
pendiri BNI 1946, ia kehilangan dua putra terbaiknya
yaitu Letnan Soebianto Djojohadikoesoemo dan Taruna
R.M. Soejono Djojohadikoesoemo (keduanya paman dari
Prabowo Subianto).
Untuk mengenang jasa-jasanya, pemerintah Indonesia
kemudian mengangkat Daan Mogot sebagai pahlawan
nasional. Namanya juga diabadikan menjadi nama Jalan
yang menghubungkan Jakarta dengan Tangerang. Jalan
Ini memiliki sahabat setia yaitu Kali Mookervaat.
Daan Mogot tutup usia pada tanggal 25 Januari tahun
1946. Hanya sempat merasakan sebulan hidup di usia 17
tahun atau dikenal sebagai saat sweet seventeen saat
ini. Mungkin bagi anak muda akan diperingati sebagai
masa yang indah, namun bagi Hadjari Singgih, pacar
Mayor Daan Mogot, adalah sebuah pengorbanan yang
sangat berarti bagi negeri ini. Kado yang terindah
darinya adalah dengan memotong rambutnya yang
panjang mencapai pinggang dan menanam rambut itu
bersama jenasah Daan Mogot.
Kini di antara kemewahan kawasan Serpong, Tangerang
Selatan, “terselip” sebuah sejarah bernilai tinggi bagi
Republik Indonesia. Sebuah rumah tua, bekas markas
serdadu Jepang di Desa Lengkong, menjadi saksi
“Pertempuran Lengkong.” Di sebelah kanan rumah itu
berdiri sebuah monument yang dibangun sejak tahun
1993. Terukir sejumlah nama taruna dan perwira yang
gugur dalam peristiwa heroik yang itu. Namun yang patut
disayangkan adanya perbedaan antara museum
Lengkong dengan obyek-obyek sejarah lainnya di Tanah
Air ini.
Markas tentara Jepang di Desa Lengkong
Museum dan Monumen Lengkong bukanlah salah satu
sarana obyek wisata yang bisa dikunjungi oleh
masyarakat luas. Pemanfaatannya hingga saat ini hanya
sekedar tempat peringatan peristiwa pertempuran.
Sehingga banyak dari masyarakat sekitar yang tidak tahu
akan keberadaan bangunan historis tersebut. Apalagi
seharusnya di museum terpampang foto-foto perjuangan
para taruna militer di Indonesia beserta akademinya,
namun sayang sekali foto-foto bersejarah tersebut kini
berada di Akademi Militer Tangerang dan akan dipasang
kembali tiap tanggal 25 Januari dalam upacara
peringatan peristiwa Pertempuran Lengkong.
Kisah kepahlawanan Daan Mogot menjadi tamparan bagi
kita, saat usia muda ia telah berbakti untuk negerinya.
Seharusnya kita terus kabarkan, agar para pemuda tahu
bahwa sejarah negeri ini bermula dari kaum pemuda.
Agar para orang pemimpin negeri ini tak memandang
remeh pada jeritan kaum muda. Simak dan renungkan,
apa yang terukir di pintu gerbang Taman Makam
Pahlawan Taruna, Tangerang.
http://terselubung.blogspot.com/2011/03/daan-mogot-
pahlawan-berumur-17-tahun.html